Indro Bagus SU - detikFinance
Jakarta - Surat utang atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan obligasi merupakan salah satu instrumen investasi yang juga diperdagangkan di pasar sekunder Bursa Efek Indonesia (BEI).
Meski tidak memiliki pamor seperti produk saham, namun produk obligasi memiliki peminat dan tempatnya sendiri dalam dunia pasar modal.
Malah kalau boleh dibilang, masih sedikit yang betul-betul memahami mekanisme transaksi produk obligasi di lantai bursa. Padahal sebenarnya, produk obligasi merupakan salah satu investasi yang bisa memberikan keuntungan besar dengan tingkat risiko minimum.
Dalam kolom portofolio kali ini, detikFinance mencoba memperkenalkan gambaran sederhana mengenai produk ini.
Obligasi merupakan salah satu jenis efek berkategori pendapatan tetap. Obligasi adalah instrumen surat utang yang memuat perjanjian atau kontrak kesediaan peminjam (issuer/emiten) untuk melakukan pembayaran secara tetap kepada pemberi pinjaman (investor) dalam periode tertentu.
Tentunya, seluruh pokok pinjaman akan dikembalikan pada akhir periode perjanjian. Nah, yang menarik adalah, surat utang ini dapat diperjualbelikan dan dipindahtangankan selama kurun waktu periode cicilan.
Karakteristik obligasi terbagi dalam 4 kategori, yaitu penerbit obligasi, prioritas, tingkat kupon bunga dan opsi-opsi redemption.
Dari segi penerbit, obligasi digolongkan dalam dua jenis yaitu Obligasi Pemerintah dan Obligasi Korporasi. Keduanya memiliki karakteristis yang berbeda.
Obligasi pemerintah biasanya memiliki tingkat kupon bunga lebih rendah yang tentunya akan memberikan yield to maturity (YTM) yang lebih rendah pula. Namun, tingkat risiko boleh dikatakan hampir tidak ada. Sebab, obligasi ini dijamin sepenuhnya oleh pemerintah, sehingga kecil kemungkinan terjadi gagal bayar.
Obligasi korporasi biasanya memberikan tingkat kupon bunga yang lebih tinggi yang tentunya akan memberikan YTM yang lebih tinggi pula. Namun tingkat risikonya lebih tinggi, karena perusahaan swasta selalu memiliki kemungkinan gagal bayar. Oleh sebab itu, obligasi korporasi biasanya disertai fitur-fitur yang menarik yang biasa dikenal dengan istilah sweetener (pemanis).
Dari segi prioritas, obligasi terbagi dalam dua jenis yaitu obligasi senior dan obligasi junior (obligasi subordinasi/subdebt). Pada obligasi pemerintah tidak ada penggolongan ini.
Perbedaan antara dua jenis obligasi ini adalah pada prioritasnya ketika terjadi suatu kondisi gagal bayar (default). Jika suatu korporasi mengalami default, maka kreditur obligasi senior akan diprioritaskan untuk pembayaran.
Sedangkan obligasi junior mendapatkan tempat kedua setelah pembayaran kepada pemegang obligasi senior
selesai. Oleh sebab itu, tingkat kupon bunga yang ditawarkan pada obligasi junior biasanya lebih tinggi dari obligasi senior, karena diasumsikan tingkat risikonya lebih besar.
Dari sisi tingkat kupon bunga, secara umum ada 3 jenis kupon yang berlaku di Indonesia yaitu kupon bunga tetap, kupon bunga floater dan zero coupon.
Kupon bunga tetap memberikan tingkat pengembalian (return) yang tetap sejak awal obligasi diterbitkan hingga jatuh tempo. Sehingga perhitungan bunga yang harus dibayarkan penerbit obligasi dan perhitungan YTM bagi investor obligasi menjadi lebih mudah.
Kupon bunga floater memberikan tingkat pengembalian yang berubah-ubah menurut acuan suku bunganya. Biasanya, acuan suku bunga pada SBI (sertifikat Bank Indonesia).
Zero coupon merupakan obligasi yang tidak memberikan kupon bunga yang dicicil, melainkan lebih kepada pemberian diskon pada awal penawaran obligasi. Sebagai contoh, perusahaan A menerbitkan obligasi senilai Rp 1 miliar, maka harga yang harus dibayarkan investor, sebut saja, sebesar Rp 900 juta.
Nanti pada saat jatuh tempo, penerbit obligasi akan membayarkan penuh sebesar Rp 1 miliar. Jadi investor akan mendapatkan pembayaran kupon bunga di muka.
Dari segi opsi-opsi redemption, secara umum terdiri dari opsi call, opsi put dan opsi konversi. Opsi call (call option) merupakan suatu hak yang dimiliki penerbit obligasi untuk melakukan pembelian kembali (semacam buy back) pada periode tertentu sebelum jatuh tempo obligasi.
Sebaliknya, opsi put (put option) merupakan hak yang dimiliki oleh investor obligasi untuk menjual kembali obligasi yang dimilikinya kepada penerbit obligasi. Namun opsi put jarang diberikan, karena tidak menguntungkan bagi penerbit obligasi.
Sedangkan opsi konversi merupakan penawaran pelunasan obligasi dengan menukar nilai utang yang menjadi kewajibannya menjadi saham. Dengan opsi ini, investor yang tadinya menjadi pihak pemberi pinjaman, setelah jatuh tempo akan beralih menjadi pemilik modal di perusahaan yang menerbitkan obligasi konversi.
Menurut Handy Yunianto, analis obligasi dari PT Mandiri Sekuritas, masing-masing klasifikasi di atas memiliki tingkat risiko yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, karakteristik perdagangan masing-masing jenis obligasi tadi akan berbeda-beda pula.
"Harga obligasi yang terbentuk di pasar sekunder akan mengikuti tingkat risiko dan ekspektasi YTM-nya masing-masing. Sebab, seiring dengan semakin dekatnya waktu jatuh tempo, maka tingkat pengembalian dan risiko dari masing-masing produk obligasi akan berubah-ubah. Ini yang mempengaruhi harga," ujarnya di Mandiri Club pekan lalu.
Dalam transaksi obligasi di pasar sekunder, perhitungan harga yang digunakan sama sekali berbeda dengan perhitungan dalam perdagangan saham. Harga yang digunakan pun menggunakan satuan persentase, bukan denominasi rupiah.
Pada saat obligasi diterbitkan, maka harga obligasi akan berada pada level 100% atau biasanya dikenal dengan istilah harga Par. Tingkat YTM saat diterbitkan pun setara dengan tingkat kupon bunga yang ditawarkan.
Sebagai ilustrasi, sebuah perusahaan menerbitkan obligasi senilai Rp 1 miliar berjangka waktu 5 tahun dengan kupon bunga 7,5% per tahun dan dibayarkan setiap 6 bulan.
Pada saat diterbitkan, harga obligasi ini adalah harga Par dengan YTM 7,5%. Itu berarti, jika pemegang obligasi memutuskan tidak menjual obligasi ini hingga jatuh tempo, maka pemegang obligasi akan mendapatkan dananya sebesar 100% (Rp 1 miliar) saat jatuh tempo plus bunga 7,5% pertahun dikali 5 (Rp 375 juta) atau totalnya Rp 1,375 milliar.
Akan tetapi, jika seorang investor membeli obligasi tersebut di pasar sekunder pada tahun kedua, itu berarti tingkat return yang akan diperoleh pun berbeda. Sebab, ia tidak mendapatkan pembayaran kupon bunga sebelum ia membeli obligasi tersebut.
Konsekuensinya, harga pembelian obligasi di pasar sekunder pun tidak mungkin ia beli pada harga Par.
Secara sederhana dapat dikatakan harga obligasi tersebut pada tahun kedua akan berada di bawah harga Par, sebut saja 98%. Sebab, investor akan mengejar selisih tingkat return yang tidak diperolehnya dengan cara memasang posisi beli pada harga di bawah harga Par.
Namun yang terjadi di pasar tidak sesederhana itu. Menurut Handy, selain faktor tadi, ada faktor-faktor lain yang membuat investor memberikan penawaran berbeda-beda di pasar sekunder.
"Faktor penentu harga obligasi yang paling besar adalah faktor suku bunga acuan," jelasnya.
Melanjutkan ilustrasi tadi, jika ketika ia membeli obligasi tadi pada tahun kedua, dimana suku bunga acuan malah menurun ke level 6%, maka pergerakan harga obligasi di pasar sekunder akan sangat tergantung pada ekspektasi atas tren suku bunga acuan.
Ilustrasinya seperti ini, jika investor tersebut berspekulasi ke depannya tren suku bunga acuan akan semakin turun, sebut saja ke level 5%, maka ia akan memasang penawaran beli pada harga di atas harga Par.
"Dengan cara ini, ia akan memiliki YTM semakin membesar ke depannya seiring dengan tren penurunan suku bunga," jelas Handy.
Sebaliknya, jika investor tersebut memproyeksikan ke depannya suku bunga akan naik, sebut saja ke level 8%, maka konsekuensinya proyeksi yield yang akan diterimanya akan menurun.
"Oleh sebab itu, untuk tetap memperoleh yield yang besar, ia akan memasang penawaran di bawah harga Par," jelas Handy.
Handy menjelaskan, rumusan sederhananya sebagai berikut:
* Jika SBI diproyeksikan menurun, YTM akan menurun, maka harga akan cenderung naik.
* Jika BI diproyeksikan naik, YTM akan ikut naik, maka harga akan cenderung turun.
Oleh sebab itu, lanjut Handy, untuk bermain obligasi di pasar sekunder, investor harus memperhatikan perhitungan atas proyeksi tren suku bunga. Sebab, pergerakan tren suku bunga sangat mempengaruhi pergerakan harga obligasi di pasar sekunder.
"Faktor yang harus diperhatikan adalah tren inflasi ke depannya. Sebab, tren inflasi berjalan seiringan dengan tren suku bunga acuan (SBI). Jika inflasi naik, maka SBI akan naik pula, sebaliknya, jika inflasi turun, maka SBI akan turun pula," ujarnya.
Nah, berbicara soal kondisi ekonomi makro Indonesia ke depannya, proyeksi terkini mengatakan memasuki semester II-2010 akan terjadi pemulihan perekonomian global. Pemulihan ini tentu akan mengikutsertakan Indonesia di dalamnya.
"Pemulihan ekonomi biasanya disertai dengan peningkatan inflasi yang tentu saja akan menyebabkan kenaikan tingkat suku bunga acuan," ujar Handy.
Dengan logika sederhana, dapat diasumsikan, ke depannya akan terjadi kenaikan suku bunga yang berarti akan membuat YTM produk-produk obligasi mengalami kenaikan pula.
Maka konsekuensinya, akan terjadi penurunan harga-harga obligasi di pasar sekunder menjelang semester II-2010.
"Penurunan harga dan adjustment seperti itu sudah mulai terjadi dari sekarang. Investor tampaknya sudah mengantisipasi proyeksi kenaikan suku bunga acuan sejak dini. Bagi investor yang berspekulasi suku bunga benar akan naik di semester II, maka membeli sekarang akan lebih baik, sebab harga masih tinggi, sehingga YTM yang diterima akan lebih besar," ujar Handy.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar