Jakarta, Kompas -
Optimisme pemerintah ini disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, pekan lalu. Meski demikian, Sri Mulyani memberikan sejumlah catatan berkaitan dengan ketidakpastian domestik yang disebabkan politik dalam negeri, exit policy dari negara-negara G-20 yang bisa berpengaruh pada rentannya nilai tukar rupiah, dan naiknya harga-harga komoditas terutama minyak mentah.
Negara-negara maju dengan defisit anggaran yang membengkak akan mengeluarkan surat berharga yang menyebabkan dollar AS tersedot. Meski demikian, kata Sri Mulyani, Indonesia tidak terlalu mengkhawatirkan karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang relatif sehat, terutama dibandingkan dengan sesama negara sedang tumbuh, seperti Meksiko, Turki, dan Brasil. Defisit anggaran Indonesia diperkirakan 1,6 persen dengan kemungkinan naik menjadi 2 persen dari produk domestik bruto atau sekitar
”Pertumbuhan ekonomi masih pada kisaran realistis 5,5 persen, tingkat inflasi 5 persen plus minus 1 persen. Nilai tukar sulit diprediksi karena ada banyak faktor, tetapi diperkirakan pada kisaran Rp 9.400 per dollar AS,” ujar Sri Mulyani seraya berharap kondisi politik di dalam negeri bisa lebih stabil.
Kenaikan harga komoditas cukup merisaukan karena akan membuat inflasi bergerak naik menekan daya beli masyarakat. Harga minyak mentah di pasaran dunia sudah mendekati 80 dollar AS per barrel seiring dengan meningkatnya permintaan karena pulihnya perekonomian global.
Namun, pemerintah bertekad memaksimalkan APBN untuk mendorong perekonomian terutama untuk mendorong daya beli masyarakat lewat subsidi. Fokus kebijakan pemerintah pada tahun 2010 tetap diarahkan pada upaya menopang daya beli masyarakat agar tidak terpuruk.
Langkah yang dilakukan, antara lain, memberikan subsidi untuk menstabilkan harga. Perhatian utama akan diarahkan pada stabilitas harga pupuk, harga beras, dan harga makanan pokok lainnya. Tarif dasar listrik yang ada tetap dipertahankan. Harga bahan bakar minyak kemungkinan besar masih bertahan.
Secara fundamental, kondisi perekonomian nasional cukup baik. ”Tahun 2009 merupakan tahun konsolidasi, maka tahun 2010 memberikan prospek yang lebih baik,” ujar Sri Mulyani. Dia mengatakan, dari Bursa Efek Indonesia, total laba dari 396 emiten sebesar Rp 34 triliun, naik sekitar 48 persen dari tahun lalu. Berarti, ada prospek pendapatan dari pajak yang akan diterima pada kuartal I-2010.
Pertanyaan yang muncul, apakah pertumbuhan ekonomi 5,5 persen ini cukup untuk meredam 8,96 juta pengangguran terbuka per Agustus 2009. Cukup untuk menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 2 juta angkatan kerja yang masuk ke bursa kerja?
Sri Mulyani mengakui, pertumbuhan yang diperlukan harus sekitar 7 persen. Untuk ini, pemerintah akan fokus pada pembangunan infrastruktur, seperti listrik dan jalan raya. Kerja sama dengan pemerintah daerah harus diperkuat, terutama dalam sektor perkebunan dan pertambangan yang bakal menampung banyak tenaga kerja.
Pertumbuhan tidak lagi harus bersandar pada sektor konsumsi yang mendominasi kontribusi pada PDB di atas 60 persen. ”Sektor ekspor dan adanya investasi langsung kini harus didorong. Karenanya, pembangunan pembangkit tenaga listrik termasuk perbaikan dan pemeliharaan jaringan distribusi menjadi keharusan,” ujar Sri Mulyani.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Zahedy Saleh membenarkan, sektor ESDM masih menjadi sumber penggerak utama roda perekonomian nasional. Departemen ESDM mencatat, tahun 2009 penyerapan tenaga kerja sektor ESDM diperkirakan 1.774.619 tenaga kerja atau naik dibanding tahun 2008 yang sebesar 1.709.514 orang.
Sementara itu, kalangan pengusaha karet dan kelapa sawit membenarkan, pemerintah dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi sedikitnya 1 juta orang setiap tahun lewat pembangunan perkebunan, terutama kelapa sawit dan karet. Hanya saja, sejauh ini belum ada dukungan riil dalam mendukung pembangunan perkebunan.
Tekad pemerintah untuk menciptakan pertumbuhan berkualitas demi meredam angka pengangguran tidak terjadi di lapangan. Banyak kendala yang masih terjadi. Seperti dituturkan Asril Sutan Amir dari kalangan perusahaan karet dan Joko Supriyono dari pengusaha kelapa sawit, belum ada dukungan konkret dari pemerintah untuk kelancaran investasi perkebunan.
Belum ada kepastian hukum soal konsesi lahan. Infrastruktur pelabuhan dan jalur distribusi masih tidak memadai. Belum lagi masalah klasik, penertiban izin pemda yang tumpang-tindih antara perkebunan dan pertambangan.
Indonesia penghasil utama minyak kelapa sawit mentah (CPO). Total produksi sepanjang 2009 mencapai 20,7 juta ton. Naik dari 19,2 juta ton pada tahun 2008. Indonesia merupakan produsen karet alam kedua dunia setelah Thailand. Volume produksi tahun 2009 diperkirakan 2,5 juta ton. Ekspor CPO diyakini menembus sedikitnya 13 miliar dollar AS dan karet 2,5 miliar dollar AS.
Soal mendorong ekspor, pemerintah sudah berniat mengoperasikan pelabuhan selama 24 jam mulai awal Februari 2010. Namun, langkah ini belum cukup. Mewakili kalangan dunia usaha, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Benny Soetrisno mengatakan, kinerja pelabuhan belum terlalu baik, ditandai dengan tingginya biaya pelabuhan di Indonesia.
Akibatnya, daya saing hasil industri di pasar mancanegara sangat lemah. Benny mengatakan, biaya penanganan kontainer atau terminal handling charge ukuran 20 kaki di Indonesia mencapai 95 dollar AS per kontainer. Padahal, di Malaysia hanya 88 dollar AS, di Thailand 63 dollar AS, dan di Vietnam 70 dollar AS.
”Bagaimana mungkin kita dapat bersaing dengan produk negara lain ketika untuk mengirimkan barang saja ongkos kita lebih mahal,” kata Benny dalam jumpa pers akhir tahun 2009.
Akumulasi kendala yang diungkapkan kalangan pengusaha ini menjadi catatan sekaligus pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan dalam upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Pertumbuhan yang bisa meredam pengangguran.
”Kalau politiknya oke, saya optimistis dengan hati-hati ekonomi akan membaik. Hati-hati terutama pada kuartal atau semester II, antara lain karena harga komoditas yang akan naik dan nilai tukar rupiah yang tetap rentan karena kebijakan exit policy G-20,” ujar Sri Mulyani.
0 komentar:
Posting Komentar