AKARTA - Pangsa pasar minyak sawit dunia tahun ini diperkirakan akan melebihi 80 persen. Angka ini akan terus meningkat menggeser pangsa pasar minyak nabati lainnya, terutama yang ditanam di negara-negara Eropa.
“Trennya memang akan terus meningkat. Bahkan akan mengalahkan minyak nabati lainnya,” kata Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Achmad Mangga Barani ketika menjadi pembicara pada diskusi "Memperkuat Nasionalisme Melawan Imperialisme Global Perdagangan CPO", di Jakarta, Selasa (20/4/2010).
Dia mengungkapkan pada 1993 konsumsi minyak sawit dunia masih 13,2 juta ton atau hanya 15,3 persen dari pangsa minyak nabati dan lemak dunia, namun pada 2009 naik menjadi 42,38 juta ton atau 33,2 persen atau tertinggi dibanding minyak nabati lainnya.
Pada 2010, tambahnya, diperkirakan pangsa pasar minyak sawit ditingkat dunia akan melebihi 80 persen sementara produksi terbesar masih dari Indonesia dan Malaysia. “Karena itulah tak heran apabila komoditas ini menjadi sasaran empuk LSM asing dengan berbagai tudingan yang tidak mendasar,” kata Mangga Barani.
Untuk itulah pemerintah akan mengeluarkan standar Indonesia mengenai pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan (Indonesian Sustainable on Palm Oil/ISPO) yang ditargetkan bisa keluar paling lambat Agustus 2010.
ISPO tersebut dilakukan untuk membuktikan bahwa pengembangan kelapa sawit di Tanah Air tidak merusak lingkungan. “Jadi selama ini pemerintah tidak diam saja terhadap kasus-kasus yang menimpa kelapa sawit nasional, namun sudah merespons,” katanya.
Sementara itu di tempat yang sama, Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengungkapkan, kampanye negatif yang dilancarkan negara maju maupun LSM internasional telah melemahkan daya saing produk kelapa sawit Indonesia.
Menurut dia, kampanye negatif terhadap industri kelapa sawit Indonesia tersebut sebenarnya bermotif perang dagang karena potensi ekonomi kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lain yang diproduksi negara-negara Eropa.
Selain itu, tambahnya, dari segi biaya produksi minyak nabati, kelapa sawit ternyata lebih rendah dibandingkan bahan baku lain seperti reapseed, bunga matahari atau biji-bijian lain.
“Oleh karena itu mereka terus menerus menekan daya saing CPO agar harganya rendah, karena mereka juga membutuhkan komoditas tersebut sebagai energi,” katanya.
Joko menyatakan, ISPO harus mampu menjadi solusi internal Indonesia dan masyarakat harus percaya diri terhadap standar pengembangan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang merupakan produk Indonesia.
Bahkan kampanye negatif tersebut mengakibatkan beberapa bank asing seperti HSBC, Rabo Bank, dan lainnya mempersulit penyaluran kredit perbankan khususnya industri CPO nasional. “Yang secara tegas-tegas itu IFC (World Bank), yang lain tidak mengatakannya,” katanya.
Menurut Joko, selama ini ada upaya lobi-lobi para LSM asing di bidang lingkungan yang mencoba menghambat penyaluran kredit bank ke sektor sawit Indonesia dengan memperketat persyaratan kredit.
Dia mengatakan, selama ini perkebunan kelapa sawit di tanah air menjadi primadona bagi pertumbuhan ekonomi nasional karena mampu menyediakan lapangan kerja bagi satu juta orang, merupakan mata pencaharian bagi 1,9 juta petani kecil.
Industri CPO mampu menyumbangkan pendapatan dari ekspor senilai USD12,4 miliar (2008) dan USD10,4 miliar (2009). Perkebunan kelapa sawit juga menjadi pendorong pengembangan ekonomi pedesaan serta salah satu kunci dalam pengentasan kemiskinan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar