Rabu, 21 April 2010

Reformasi Birokrasi dan Kesejahteraan Rakyat


Mungkin sebagian kalangan mulai bosan membaca atau mendengar berita di media massa tentang negara kita tercinta yang belakangan didominasi berita hukum dan politik.


Setelah beberapa bulan disuguhi pernakpernik kasus Bank Century, isu terhangat saat ini telah bergeser menjadi drama makelar kasus (markus) pajak yang dibumbui pertarungan seru antarperwira tinggi polisi. Bagi sineas berbakat,mungkin peristiwa di Indonesia beberapa bulan ini sangat menarik diangkat menjadi film drama politik. Ini akan menciptakan jenis film baru di Indonesia yang hampir tidak pernah menyinggung masalah politik. Sayangnya film yang menarik tersebut bukan kenyataan dan yang terjadi sebenarnya adalah rakyat sudah mulai lelah menyaksikan drama politik dan hukum yang berkepanjangan. Ibarat film, drama politik dan hukum di Indonesia akhirnya lebih menjurus menjadi sinetron berkepanjangan, tanpa ketahuan akhirnya dibanding suatu film layar lebar yang bermutu dan selesai tidak lebih dari tiga jam masa putar.

Lebih parah lagi, sinetron drama politik hukum tersebut dapat berhenti atau hilang kapan saja tergantung kemauan sutradara dan minat pemirsa. Sutradara yang dimaksud di sini tentunya para pelaku politik dan hukum itu sendiri yang mungkin melihat bahwa para pemirsa (rakyat) sudah mulai jenuh dengan suatu isu dan berusaha menciptakan isu baru. Seperti kebanyakan sinetron Indonesia yang kurang mendidik, sinetron drama politik dan hukum ini juga tidak mendidik,cenderung membingungkan dan berpotensi memecah belah masyarakat, paling tidak dari sisi opini. Selain itu, antipati masyarakat terhadap aparat pemerintah juga akan bertambah tinggi terutama kepada politisi, penegak hukum, serta birokrat.

Antipati masyarakat jelas bukan merupakan modal yang dibutuhkan dalam memacu pertumbuhan ekonomi serta memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Apabila antipati masyarakat membesar,dikhawatirkan sebagian besar masyarakat akan apatis terhadap pemerintah atau lebih parah lagi,kemungkinan timbulnya ketidakpercayaan terhadap apapun yang berkaitan dengan politik dan hukum. Kalau hal terakhir terjadi, impian pemulihan pertumbuhan ekonomi pascakrisis global dan apalagi impian menjadi anggota dari kelompok BRIC yang mewakili emerging economies akan semakin jauh panggang dari api. Jangankan investor asing, investor domestik pun mungkin akan menahan rencana investasinya atau bahkan memindahkan investasinya ke luar negeri.

Belajar dari kasus Bank Century dan markus pajak, satu hal yang pasti adalah makin mendesaknya reformasi birokrasi secara menyeluruh. Reformasi ini bertujuan menekan ekonomi biaya tinggi, memperbaiki iklim investasi, dan yang paling penting pada akhirnya manfaat terbesar jatuh kepada masyarakat, yaitu menikmati layanan publik lebih baik dan sekaligus memperbaiki tingkat kesejahteraan mereka. Meskipun proses hukum terhadap dua kasus tersebut belum sepenuhnya berjalan dan belum ada putusan hukum mengikat, penyebab kedua kasus tersebut berangkat dari kinerja aparat pemerintah sendiri. Bank Indonesia memang independen terhadap pemerintah dan karyawannya tidak bisa disebut sebagai aparat pemerintah tetapi lingkup pekerjaan mereka sangat berkait dengan kepentingan masyarakat dan pembangunan ekonomi nasional.

Dengan demikian, cukup wajar rasanya mereka dianggap setara dengan pegawai pemerintah. Dalam kasus Century, masyarakat banyak bertanya mengapa Bank Century yang bahkan merupakan gabungan bank bermasalah tetap dibiarkan hidup meskipun mencatat kinerja mengkhawatirkan. Dalam kasus markus pajak, masyarakat seolah menemukan jawaban dari pertanyaan sederhana mereka, kenapa aparat pajak yang juga pegawai negeri sipil (PNS) bisa jauh lebih kaya dibandingkan PNS lainnya. Yang kemudian menjadi lebih problematik adalah fakta bahwa gaji pegawai Bank Indonesia dan Ditjen Pajak jauh di atas rata-rata gaji PNS yang setara pangkat atau jabatannya.

Fakta ini akhirnya melahirkan asumsi bahwa menaikkan gaji PNS tidak akan serta-merta mengurangi korupsi atau memperbaiki kinerja mereka. Kesimpulan ini memang tidak salah karena reformasi birokrasi bukanlah sekadar memperbaiki struktur kompensasi dan menambah anggaran untuk gaji pegawai, melainkan lebih merupakan perbaikan sistem menyeluruh yang mencakup perubahan total budaya kerja. Perbaikan kompensasi bisa merupakan langkah awal reformasi birokrasi tetapi langkah berikutnya tidak bisa menunggu terlalu lama karena dapat mengakibatkan pandangan negatif terhadap dampak dari reformasi birokrasi itu sendiri.

Sebagai contoh,reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan yang menaungi Ditjen Pajak dimulai dengan perbaikan sistem remunerasi yang memang sangat wajar diterima pejabat pemerintah yang kalibernya sebenarnya tidak kalah (atau bahkan lebih) dibandingkan para eksekutif perusahaan swasta. Namun, perbaikan sistem remunerasi ini tidak bisa berdiri sendiri sebagai jaminan bahwa reformasi birokrasi akan terjadi dengan sendirinya. Perbaikan jenjang kepangkatan, sistem pengembangan karier, berikut governance, harus menjadi tahap berikutnya di mana birokrasi harus memberikan ruang seluas-luasnya kepada individu yang berprestasi, sekaligus bisa memberikan konsekuensi yang seberat-beratnya terhadap yang melakukan pelanggaran,terutama korupsi.

Sistem yang saat ini sangat dipengaruhi senioritas dan kaku hanya akan menciptakan jaminan hidup jangka panjang buat semua PNS tetapi tanpa produktivitas memadai sesuai yang dibutuhkan birokrasi itu sendiri.Rightsizingpemerintah (termasuk pemerintah daerah) kemudian menjadi langkah berikut mengingat Indonesia adalah negara penganut desentralisasi yang cukup besar, di mana sebagian besar kewenangan sudah berada di tangan pemerintah daerah. Dikotomi pusat dan daerah harus dihapuskan sehingga PNS yang pindah dari pusat ke daerah tidak merasa derajatnya turun dan sebaliknya, mereka pindah karena menganggap masa depan mereka di daerah lebih baik.

Kembali pada kasus Bank century dan markus pajak, rentang kendali di bagian pengawasan Bank Indonesia serta Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan, harus dianalisis lebih mendalam. Pengawasan begitu banyak bank tentunya tidak mudah dan sama sulitnya dengan pengawasan terhadap begitu banyak pegawai Ditjen Pajak. Apapun bentuk solusinya nanti,reformasi birokrasi yang dijelaskan di atas harus menyentuh sisi governance dan pengawasan. Kalaupun pengawasan bank akan ditangani oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Ditjen Pajak menjadi lembaga terpisah dari Kemen-terian Keuangan seperti Internal Revenue Service (IRS) di Amerika Serikat, harus dipastikan reformasi birokrasi sebagai prasyarat terbentuknya institusi baru tersebut.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diharapkan dapat menjadikan reformasi birokrasi sebagai kerangka dasar strategi menjadikan Indonesia sebagai anggota baru BRIC, dengan pemikiran utama bahwa reformasi birokrasi segera membawa dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar

Archive

 

lungka. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com